Di negeri kaum muslimin tak terkecuali negeri
kita ini, momentum hari raya biasanya dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh
orang-orang kafir (dalam hal ini kaum Nashrani) untuk menggugah bahkan
menggugat tenggang rasa atau toleransi –ala mereka- terhadap kaum muslimin.
Seiring dengan itu, slogan-slogan manis seperti: menebarkan kasih sayang, kebersamaan ataupun kemanusiaan sengaja mereka suguhkan sehingga sebagian kaum muslimin yang
lemah iman dan jiwanya menjadi buta terhadap makar jahat dan kedengkian mereka.
Maskot yang bernama Santa Claus ternyata cukup mewakili “kedigdayaan” mereka untuk meredam militansi kaum muslimin atau paling tidak melupakan prinsip Al Bara’ (permusuhan atau kebencian) kepada mereka. Sebuah prinsip yang pernah diajarkan Allah dan Rasul-Nya .HARI RAYA ORANG-ORANG KAFIR IDENTIK DENGAN AGAMA MEREKA
Maskot yang bernama Santa Claus ternyata cukup mewakili “kedigdayaan” mereka untuk meredam militansi kaum muslimin atau paling tidak melupakan prinsip Al Bara’ (permusuhan atau kebencian) kepada mereka. Sebuah prinsip yang pernah diajarkan Allah dan Rasul-Nya .HARI RAYA ORANG-ORANG KAFIR IDENTIK DENGAN AGAMA MEREKA
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “Bahwasanya hari-hari raya itu merupakan bagian dari lingkup
syariat, ajaran dan ibadah….seperti halnya kiblat, shalat dan puasa. Maka tidak
ada bedanya antara menyepakati mereka didalam hari raya mereka dengan
menyepakati mereka didalam segenap ajaran mereka….bahkan hari-hari raya itu
merupakan salah satu ciri khas yang membedakan antara syariat-syariat (agama)
yang ada. Juga (hari raya) itu merupakan salah satu syiar yang paling
mencolok.”(Iqtidha’ Shiratil Mustaqim hal. 292)
SETIAP UMAT BERAGAMA MEMILIKI HARI RAYA
Perkara ini disitir oleh Allah didalam firman-Nya (artinya):
“Untuk setiap umat (beragama) Kami jadikan sebuah syariat dan ajaran”. (Al
Maidah: 48). Bahkan dengan tegas Rasulullah
bersabda:“Sesungguhnya bagi setiap kaum (beragama) itu memiliki hari raya, sedangkan ini (Iedul Fithri atau Iedul Adha) adalah hari raya kita.” (Muttafaqun ‘alaihi)
bersabda:“Sesungguhnya bagi setiap kaum (beragama) itu memiliki hari raya, sedangkan ini (Iedul Fithri atau Iedul Adha) adalah hari raya kita.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Akan tetapi muncul sebuah permasalahan tatkala kita mengingat
bahwa orang-orang kafir (dalam hal ini kaum Nashrani) telah mengubah-ubah kitab
Injil mereka sehingga sangatlah diragukan bahwa hari raya mereka yaitu Natal
merupakan ajaran Nabi Isa ?. Kalaupun toh, Natal tersebut merupakan
ajaran beliau, maka sesungguhnya hari raya tersebut -demikian pula seluruh hari
raya orang-orang kafir- telah dihapus dengan hari raya Iedul Fithri dan
Iedul Adha.Rasulullah bersabda:“Sesungguhnya Allah telah mengganti keduanya
(dua hari raya Jahiliyah ketika itu-pent) dengan hari raya yang lebih baik
yaitu: Iedul Adha dan Iedul Fithri.” (H.R Abu Daud dengan sanad shahih)SIKAP SEORANG MUSLIM TERHADAP HARI RAYA ORANG-ORANG KAFIR
Menanggapi upaya-upaya yang keras dari orang-orang kafir didalam
meredam dan menggugurkan prinsip Al Bara’ melalui hari raya mereka, maka
sangatlah mendesak untuk setiap muslim mengetahui dan memahami perkara-perkara
berikut ini:
1. Tidak Menghadiri Hari Raya
Mereka
Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah berkata: “Berbaurnya kaum muslimin dengan selain muslimin dalam
acara hari raya mereka adalahharam. Sebab, dalam perbuatan tersebut mengandung unsur tolong
menolong dalam hal perbuatan dosa dan permusuhan. Padahal Allah berfirman (artinya):
“Dan tolong menolonglah kalian dalam kebaikan dan ketaqwaan dan
janganlah kalian tolong menolong didalam dosa dan pelanggaran.” (Al
Maidah:2)…..
Oleh karena itu para ulama mengatakan bahwa kaum muslimin tidak
boleh ikut bersama orang-orang kafir dalam acara hari raya mereka karena hal
itu menunjukan persetujuan dan keridhaan terhadap agama mereka yang batil.”
(Disarikan dari majalah Asy Syariah no.10 hal.8-9)
Berkaitan dengan poin yang pertama ini, tidak sedikit dari para
ulama ketika membawakan firman Allah yang menceritakan tentang sifat-sifat
Ibadurrahman (artinya): “(Yaitu) orang-orang yang tidak menghadiri kedustaan.”
(Al Furqan:73), mereka menafsirkan “kedustaan” tersebut dengan hari-hari raya
kaum musyrikin (Tafsir Ibnu Jarir…/….)
Lebih parah lagi apabila seorang muslim bersedia
menghadiri acara tersebut di gereja atau tempat-tempat ibadah mereka.Rasulullah
mengecam perbuatan ini dengan sabdanya:“Dan
janganlah kalian menemui orang-orang musyrikin di gereja-gereja atau
tempat-tempat ibadah mereka, karena kemurkaan Allah akan menimpa mereka.” (H.R
Al Baihaqi dengan sanad shahih)
2. Tidak Memberikan Ucapan
Selamat Hari Raya
Didalam salah satu fatwanya, beliau (Asy Syaikh Ibnu Utsaimin)
mengatakan bahwamemberikan ucapan selamat
hari raya Natal kepada kaum Nashrani dan selainnya dari hari-hari raya orang
kafir adalah haram. Keharaman
tersebut disebabkan adanya unsur keridhaan dan persetujuan terhadap syiar
kekufuran mereka, walaupun pada dasarnya tidak ada keridhaan terhadap kekufuran
itu sendiri. Beliau pun membawakan ayat yaitu (artinya):
“Bila kalian kufur maka sesungguhnya Allah tidak butuh kepada
kalian. Dia tidak ridha adanya kekufuran pada hamba-hamba-Nya. (Namun) bila
kalian bersyukur maka Dia ridha kepada kalian.” (Az Zumar:7).
Juga firman-Nya (yang artinya): “Pada hari ini, Aku telah
sempurnakan agama ini kepada kalian, Aku cukupkan nikmat-Ku kepada kalian dan
Aku ridhai Islam menjadi agama kalian.” (Al Maidah:3)
Beliau juga menambahkan bahwa bila mereka sendiri
yang mengucapkan selamat hari raya tersebut kepada kita maka kita tidak boleh
membalasnya karena memang bukan hari raya kita. Demikian pula, hal tersebut disebabkan hari raya mereka ini
bukanlah hari raya yang diridhai Allah karena memang sebuah bentuk bid’ah dalam
agama asli mereka. Atau kalau memang disyariatkan, maka hal itu telah dihapus
dengan datangnya agama Islam.”
(Majmu’uts Tsamin juz 3 dan Al Muntaqa min Fatawa Asy Syaikh
Shalih Al Fauzan 1/255)
Al Imam Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan bahwa orang yang
mengucapkan selamat kepada orang-orang kafir pada hari raya mereka, kalaupun dia ini selamat dari kekufuran maka dia pasti
terjatuh kepada keharaman. Keadaan dia ini seperti halnya mengucapkan selamat
atas sujud mereka kepada salib. (Ahkamu Ahlidz Dzimmah)
3. Tidak Tukar Menukar Hadiah
Pada Hari Raya Mereka
Asy Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah mengatakan: “Telah sampai
kepada kami (berita) tentang sebagian orang yang tidak mengerti dan lemah
agamanya, bahwa mereka saling menukar hadiah pada hari raya Nashrani. Ini
adalah haram dan tidak boleh dilakukan. Sebab, dalam (perbuatan) tersebut
mengandung unsur keridhaan kepada kekufuran dan agama mereka. Kita mengadukan
(hal ini) kepada Allah.” (At Ta’liq ‘Ala Iqtidha’ Shiratil Mustaqim hal. 277)
4. Tidak Menjual Sesuatu
Untuk Keperluan Hari Raya Mereka
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menegaskan bahwa seorang muslim yang menjual barang dagangannya untuk
membantu kebutuhan hari raya orang-orang kafir baik berupa makanan, pakaian
atau selainnya maka ini merupakan bentuk pertolongan untuk mensukseskan acara
tersebut. (Perbuatan) ini dilarang atas dasar suatu kaidah yaitu: Tidak
boleh menjual air anggur atau air buah kepada orang-orang kafir untuk dijadikan
minuman keras (khamr). Demikian halnya, tidak boleh menjual senjata kepada
mereka untuk memerangi seorang muslim. (Iqtidha’ Shiratil Mustaqim hal.325)
5. Tidak Melakukan
Aktivitas-Aktivitas Tertentu Yang Menyerupai Orang-Orang Kafir Pada Hari Raya
Mereka
Didalam fatwanya, Asy Syaikh Ibnu Utsaimin mengatakan: “Dan
demikian pula diharamkan bagi kaum muslimin untuk meniru orang-orang kafir pada
hari raya tersebut dengan mengadakan perayaan-perayaan khusus, tukar menukar
hadiah, pembagian permen (secara gratis), membuat makanan khusus, libur kerja
dan semacamnya. Hal ini berdasarkan ucapan Nabi :
“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum maka dia
termasuk kaum tersebut.” (H.R Abu Daud dengan sanad hasan). (Majmu’uts Tsamin
juz 3)
DOSAKAH BILA MELAKUKAN HAL
ITU DALAM RANGKA MUDAHANAH (BASA BASI)?
Selanjutnya didalam fatwa itu juga, beliau mengatakan: “Dan barangsiapa melakukan salah satu dari perbuatan tadi
(dalam fatwa tersebut tanpa disertakan no 1,3 dan 4-pent) maka dia telah
berbuat dosa, baik dia lakukan dalam rangka bermudahanah, mencari keridhaan,
malu hati atau selainnya. Sebab, hal itu termasuk bermudahanah dalam beragama,
menguatkan mental dan kebanggaan orang-orang kafir dalam beragama.”
(Majmu’uts Tsamin juz 3)
Sedangkan mudahanah didalam beragama itu sendiri dilarang oleh
Allah . Allah berfirman (artinya):
“Mereka (orang-orang kafir) menginginkan supaya kamu bermudahanah
kepada mereka lalu mereka pun bermudahanah pula kepadamu.” (Al Qalam:9)ORANG-ORANG KAFIR BERGEMBIRA BILA KAUM MUSLIMIN IKUT BERPARTISIPASI
DALAM HARI RAYA MEREKA
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “Oleh karena itu, orang-orang kafir sangat bergembira dengan
partisipasinya kaum muslimin dalam sebagian perkara (agama) mereka. Mereka
sangat senang walaupun harus mengeluarkan harta yang berlimpah untuk itu.” (Iqtidha’ Shiratil Mustaqim hal.39).
BOLEHKAH SEORANG MUSLIM IKUT MERAYAKAN TAHUN
BARU DAN HARI KASIH SAYANG (VALENTINE’S DAY)?
Para ulama yang tergabung dalam Lajnah Da’imah Lil Buhuts Al
Ilmiyah Wal Ifta’ (Komite Tetap Kajian Ilmiah Dan Fatwa) Arab Saudi dalam
fatwanya no.21203 tertanggal 22 Dzul Qa’dah 1420 menyatakan bahwa
perayaan-perayaan selain Iedul Fithri dan Iedul Adha baik yang berkaitan dengan
sejarah seseorang, kelompok manusia, peristiwa atau makna-makna tertentu adalah
perayaan-perayaan bid’ah. Tidak boleh bagi kaum muslimin untuk berpartisipasi
apapun didalamnya.
Didalam fatwa itu juga dinyatakan bahwa hari Kasih Sayang
(Valentine’s Day)- yang jatuh setiap tanggal 14 Pebruari- merupakan salah satu
hari raya para penyembah berhala dari kalangan Nashrani.
Adapun Asy Syaikh Shalih Al Fauzan hafidzahullah (salah satu
anggota komite tersebut) menyatakan bahwa penanggalan Miladi/Masehi itu
merupakan suatu simbol keagamaan mereka. Sebab, simbol tersebut menunjukan
adanya pengagungan terhadap kelahiran Al Masih (Nabi Isa ?) dan juga adanya
perayaan pada setiap awal tahunnya. (Al Muntaqa min Fatawa Asy Syaikh Shalih Al
Fauzan 1/257). Wallahu A’lam.(Sumber :
http://www.assalafy.org/mahad/?p=89)
1 komentar:
id
Posting Komentar