Minggu, 29 Januari 2012

Sejarah Al-qur'an


A. Pengertian Al-qur'an
            Al-qur'an berasal dari kata qaraa, yang artinya bacaan, kemudian kata Al-qur'an dipakai untuk Al- qur'an yang dikenal sekarang ini. Al-quran adalah firman atau wahyu yang berasal dari Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW dengan perantara melalui malaikat jibril sebagai pedoman serta petunjuk seluruh umat manusia semua masa, bangsa dan lokasi. Al-qur’an ad
alah kitab Allah SWT yang terakhir setelah kitab taurat, zabur dan injil yang diturunkan melalui para rasul. Al-qur'an yang diakui sebagai kitab suci umat Islam, terdiri atas 114 surat dan dibagi
menjadi 30 bagian atau disebut juz. Jumlah seluruh ayatnya ada 6.666 ayat.
B. Sejarah Turunnya Al-qur'an
 1.1 Pengertian Nuzul qur’an
           Ada dua kemungkinan makna yang dapat dikemukakan untuk istilah nuzul. Pertama, nuzuldiasumsikan semakna dengan nazala yang mempunyai makna “turun” kata nuzul murodif maknanya dengan kata nazala, anzala artinya “menurunkan” .
           Secara harfiah, nuzul al-quran dapat dimaknai sebagai peristiwa turunnya Al-qur’an. Secara istilah nuzul Al-qur’an didefinisikan dengan pemberitahuan  Allah tentang turunnya Al-qur’an dengan cara dan sarana yang dikehendaki Allah sehingga hal itu dapat diketahui oleh malaikat di lauh mahfudz dan Nabi Muhammad SAW di dalam hatinya yang suci.



Al-qur’an diturunkan Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW dengan berbagai cara :
  1. Berupa mimpi yang baik waktu beliau tidur.Kadang-kadang wahyu itu dibawa oleh malaikat Jibril dengan menyerupai bentuk manusia laki-laki, lalu menyampaikan perkataan (firman Allah) kepada beliau.
  2. Kadang-kadang malaikat pembawa wahyu itu menampakkan dirinya dalam bentuk yang asli (bentuk malaikat), lalu mewahyukan firman Allah kepada beliau.
  3. Kadang-kadang wahyu itu merupakan bunyi genta. Inilah cara yang paling berat dirasakan beliau.
  4. Kadang-kadang wahyu itu datang tidak dengan perantaraan malaikat, melainkan diterima langsung dari hadirat Allah sendiri.
  5. Sekali wahyu itu beliau terima di atas langit yang ketujuh langsung dari hadirat Allah       sendiri.
           Berikut ini beberapa pendapat tentang turunnya Al-qur’an yaitu : Pertama, Al-qur’an diturunkan sekaligus ke langit dunia pada malam qadar, lengkap dari awal hingga akhirnya, kemudian Al-qur’an diturunkan secara berangsur-angsur kepada Nabi Muhammad SAW selama kurang lebih 23 tahun. Kedua, Al-qur’an diturunkan ke langit dunia dalam 23 kali lailatul qadar selama 23 tahun. Pada tiap-tiap malam diturunkan ke langit dunia hanyalah ayat-ayat yang hendak diturunkan dalam tahun itu kepada Nabi Muhammad SAW secara berangsur-angsur. Ketiga, Al-qur,an pertama kali diturunkan pada lailatul qadar, kemudian diturunkan setelah itu dengan cara berangsur-angsur dalam berbagai waktu. Keempat, Al-qur’an diturunkan tiga kali dalam tiga tingkat. Pertama diturunkan kelauh mahfudz, kedua diturunkan Bait al Izzah di langit dunia dan ketiga diturunkan secara berangsur-angsur (Halimatussa’diyah, 2008: 40). Dari berbagai pendapat di atas kita lebih cenderung pada pendapat terakhir. Hal ini sesuai dengan  pendapat jumhur ulama yang oleh Ibnu Hajar berpendapat bahwa pendapat yang terakhir ini shahih dan Mu’tabad .
      Sejarah periode turunnya Al-qur’an apabila dilihat dari isi kandungannya dapat di bagi menjadi tiga yakni : pada pereode pertama Al-qur’an diturunkan (iqra’) Nabi Muhammad SAW belum diangkat menjadi Rasul. Dengan wahyu pertama itu, beliau baru merupakan seorang Nabi yang tidak ditugaskan untuk menyampaikan apa yang diterima. Baru setelah wahyu yang kedualah beliau ditugaskan untuk menyampaikan wahyu-wahyu yang diterimanya dengan adanya firman Allah dalam surat al Mudatsir sebagai berikut :
 “Hai orang yang berkemul (berselimut), Bangunlah, lalu berilah peringatan!, Dan Tuhanmu agungkanlah!, Dan pakaianmu bersihkanlah, Dan perbuatan dosa tinggalkanlah, Dan janganlah kamu memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak. Dan untuk (memenuhi perintah) Tuhanmu, bersabarlah”(Q.S [74 : 1-7]).
       Kedua, pengetahuan-pengetahuan dasar mengenai sifat dan af’al Allah, misalnya surat Al-a’la(surat ke tujuh yang diturunkan) atau surat Al- ikhlas, yang menurut hadits sebanding dengan sepertiga Al-qur’an, karena yang mengetahuinya dengan sebenarnya akan mengetahui pula persoalan-persoalan tauhid dan tanzih (penyucian Allah SWT).
       Ketiga, keterangan mengenai dasar-dasar akhlak Islamiyah, serta bantahan-bantahan secara umum mengenai pandangn hidup masyarakat Jahiliyah ketika itu.
       Pada periode kedua sejarah turunnya Al-qur’an, banyak ayat silih berganti turun menerangkan kewajiban-kewajiban prinsipil penganutnya sesuai dengan kondisi dakwah ketika itu. Dilain pihak ayat-ayat kecaman dan ancaman pedas terus mengalir kepada kaum musyrik yang berpaling dari kebenaran. Selain itu, turun juga ayat-ayat yang mengandung argumentasi mengenai keesaan Tuhan dan kepastian hari kiamat berdasarkan tanda-tanda yang dapat mereka lihat dalam kehidupan sehari-hari.
     Periode ketiga, dakwah Al-qur’an telah dapat mewujudkan suatu prestasi besar karena penganut-penganutnya telah dapat hidup bebas melaksanakan ajaran-ajaran agama di Yatsrib yang kemudian dikenal dengan nama Al-Madinah Al-Munawarah .

1.2  Hikmah Diturunkan Al-Qur’an Berangsur-Angsur
       Hikmah yang dapat diambil diturunkannya Al-qur’an secara berangsur-angsur, sebagaimana telah diterangkan di dalam Al-qur’an adalah sebagai berikut :
1: 2.1    Untuk menguatkan, meneguhkan dan memantapkan hati jiwa rasulullah SAW.
         Kaum musyrikin Makah banyak yang menentang ketika Rasulullah menyampaikan dakwah. Orang-orang yang dihadapi berhati batu dan keras kepala. Rasulullah senantiasa menerima ancaman dan berbagai gangguan dari mereka, pada hal Rasul dengan niat yang ihlas ingin menyampaikan risalah yang baik kepada mereka.
        Malaikat Jibril menyampaikan wahyu kepada Nabi Muhammad SAW secara berangsur-angsur, menyebabkan kontak langsung antara Nabi dengan zat tempat wahyu berasal pada setiap beliau menerima wahyu. Hal ini akan membuat hati Nabi Muhammad SAW menjadi gembira serta membuat jiwanya tenang dan lapang.
       Setiap kali Nabi Muhammad SAW menerima wahyu, merupakan mu’jizat yang baru pula bagi Beliau, karena setiap kali itu pula orang-orang yang membangkang dan tidak percaya akan kerasulan Nabi Muhammad SAW, yang sekaligus tidak mampu menandingi isi kandungan Al-qur’an.
       Al-qur’an diturunkan berangsur-angsur membuat Nabi Muhammad SAW mudah mengingat, memahami dan menghafal serta mengetahui hukum dan hikmah apa yang terkandung di dalamnya. Hal ini akan menjadikan hati Nabi Muhammad SAW tenang dan lega.
       Nabi Muhammad SAW dalam menyampaikan risalah kerasulannya senantiasa mendapat tantangan dan halangan dari musuh-musuhnya, bahkan tidak jarang Beliau menghadapi ancaman pembunuhan dari musuh-musuhnya tersebut.
       Pada saat Nabi Muhammad SAW berada dalam situasi yang sangat sulit, Allah SWT menurunkan wahyu yang dapat membangkitkan semangat Beliau, dan menjanjikan pertolongan kepada Nabi Muhammad SAW dalam menyampaikan dakwah. Karena tekanan sering kali muncul dihadapan Nabi Muhammad SAW, maka berulang kali pula wahyu turun dalam situasi demikian.
1:2.2     Tantangan dan mu’jizat.
       Sikap kaum kafirin dan musyrikin Qurais terhadap Al-qur’an selalu menunjukkan perlawanan dengan mengajukan berbagai pertanyaan yang bertujuan untuk melemahkan dan menguji kenabian Rasulullah. Mereka sering menanyakan sesuatu hal kepada Rasulullah tentang sesuatu hal yang tidak masuk akal, seperti menanyakan tentang hari kiamat. Sebagaimana diungkapkan dalam Al-qur’an dalam surat al-a’raf  [7] : 187 sebagai berikut :
 “Mereka menanyakan kepadamu tentang kiamat: "Bilakah terjadinya?" Katakanlah: "Sesungguhnya pengetahuan tentang kiamat itu adalah pada sisi Tuhanku; tidak seorangpun yang dapat menjelaskan waktu kedatangannya selain Dia. kiamat itu amat berat (huru haranya bagi makhluk) yang di langit dan di bumi. kiamat itu tidak akan datang kepadamu melainkan dengan tiba-tiba". mereka bertanya kepadamu seakan-akan kamu benar-benar mengetahuinya. Katakanlah: "Sesungguhnya pengetahuan tentang bari kiamat itu adalah di sisi Allah, tetapi kebanyakan manusia tidak Mengetahui". (Q.S [7] : 187). Dalam hal ini turunlah ayat Al-qur’an yang menjelaskan kepada mereka segi kebenaran dan memberikan jawaban yang amat jelas atas pertanyaan kaum musyrik. Allah SWT berfirman :
 “ Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya”(Q.S [25] : 33).
        Maksud ayat diatas adalah, setiap kali mereka datang kepada nabi Muhammad SAW membawa suatu hal yang aneh berupa usul dan kecaman, Allah menolaknya dengan suatu yang benar dan nyata. Hal ini sebagai bukti bahwa setiap peristiwa yang menyertai turunnya Al-qur’an mengandung bentuk mukjizat yang baru, karena Al-qur’an menantang mereka setiap saat untuk mendatangkan yang semisal dengan bagian-bagian yang turun. Kelemahan kaum musyrikin semakin jelas, karena mereka terbukti tidak mampu membuat yang serupa dengan al-qur’an.
1: 2.3      Mempermudah hafalan dan pemahamannya.
        Rasulullah SAW adalah seorang yang ummi, tidak dapat membaca dan menulis. Oleh sebab itulah Al-qur’an turun berangsur-angsur agar Rasulullah mudah untuk menghafalkannya. Masyarakat Arab pada waktu itu masih kesulitan memperoleh alat-alat tulis dan masih langkanya orang yang mampu membaca dan menulis. Masyarakat Arab pada umumnya sibuk dengan kehidupan ekonominya dengan cara berdagang secara berpindah-pindah, sebagaimana Allah SWT berfirman :
“Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka Kitab dan hikmah (As Sunnah). Dan Sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata”(Q.S [62] : 2 ).
       Umat yang buta huruf tidaklah mudah untuk menghafal seluruh Al-qur’an. Seandainya Al-qur’an diturunkan secara sekaligus tentu sulit bagi mereka untuk memahami maknanya dan memikirkan isi kandungan ayat-ayatnya. Al-qur’an turun secara berangsur-angsur, merupakan bentuk terbaik bagi bangsa Arab untuk menghafal dan memahaminya. Setiap kali turun ayat, para Sahabat segera menghafalnya, memikirkan maknanya dan mempelajari hukum-hukum yang terkandung di dalam ayat tersebut. Tradisi ini menjadi suatu metode pengajaran dalam kehidupan para sahabat dan tabi’in.

C. Pembukuan Dan Pemeliharaan Al-qur’an
2.1     Penulisan Al-qur’an Pada Masa Nabi Muhammad S.A.W
          Penulisan (pencatatan dalam bentuk teks) Al-qur'an sudah dimulai sejak zaman Nabi Muhammad SAW. Kemudian transformasinya menjadi teks yang dijumpai saat ini selesai dilakukan pada zaman khalifah Utsman bin Affan.
           Pada masa ketika Nabi Muhammad SAW masih hidup, terdapat beberapa orang yang ditunjuk untuk menuliskan Al-qur'an yakni Zaid bin TsabitAli bin Abi TalibMuawiyah bin Abu Sufyandan Ubay bin Kaab. Sahabat yang lain juga kerap menuliskan wahyu tersebut walau tidak diperintahkan. Media penulisan yang digunakan saat itu berupa pelepah kurma, lempengan batu, daun lontar, kulit atau daun kayu, pelana, potongan tulang belulang binatang. Di samping itu banyak juga sahabat-sahabat langsung menghafalkan ayat-ayat Al-qur'an setelah wahyu diturunkan .
2.2     Penulisan Al-qur’an Pada Masa Khulafaur Rasyidin
2:2.1       Pada Masa Pemerintahan Abu Bakar
               Pada masa kekhalifahan Abu Bakar, terjadi beberapa pertempuran (dalam perang yang dikenal dengan nama perang Ridda) yang mengakibatkan tewasnya beberapa penghafal Al-Qur'an dalam jumlah yang signifikan. Umar bin Khattab yang saat itu merasa sangat khawatir akan keadaan tersebut lantas meminta kepada Abu Bakar untuk mengumpulkan seluruh tulisan Al-Qur'an yang saat itu tersebar di antara para sahabat. Abu Bakar lantas memerintahkan Zaid bin Tsabit sebagai koordinator pelaksana tugas tersebut. Setelah pekerjaan tersebut selesai dan Al-qur'an tersusun secara rapi dalam satu mushaf, hasilnya diserahkan kepada Abu Bakar. Abu Bakar menyimpan mushaf tersebut hingga wafatnya kemudian mushaf tersebut berpindah kepada Umar sebagai khalifah penerusnya, selanjutnya mushaf dipegang oleh anaknya yakni Hafsah yang juga istri Nabi Muhammad SAW . 


2:2.2    Pada Masa Pemerintahan Utsman Bin Affan
            Pada masa pemerintahan khalifah ke-3 yakni Utsman bin Affan, terdapat keragaman dalam cara pembacaan Al-qur'an (qira'at) yang disebabkan oleh adanya perbedaan dialek (lahjah) antar suku yang berasal dari daerah berbeda-beda. Hal ini menimbulkan kekhawatiran Utsman sehingga ia mengambil kebijakan untuk membuat sebuah mushaf standar (menyalin mushaf yang dipegang Hafsah) yang ditulis dengan sebuah jenis penulisan yang baku. Standar tersebut, yang kemudian dikenal dengan istilah cara penulisan (rasam) Utsmani yang digunakan hingga saat ini. Bersamaan dengan standarisasi ini, seluruh mushaf yang berbeda dengan standar yang dihasilkan diperintahkan untuk dimusnahkan (dibakar). Dengan proses ini Utsman berhasil mencegah bahaya laten terjadinya perselisihan di antara umat Islam di masa depan dalam penulisan dan pembacaan Al-qur'an.
           Mengutip hadist riwayat Ibnu Abi Dawud dalam Al-Mashahif, dengan sanad yang shahih:
 Suwaid bin Ghaflah berkata, "Ali mengatakan: Katakanlah segala yang baik tentang Utsman. Demi Allah, apa yang telah dilakukannya mengenai mushaf-mushaf Al-qur'an sudah atas persetujuan kami. Utsman berkata, 'Bagaimana pendapatmu tentang isu qira'at ini? Saya mendapat berita bahwa sebagian mereka mengatakan bahwa qira'atnya lebih baik dari qira'at orang lain. Ini hampir menjadi suatu kekufuran'. Kami berkata, 'Bagaimana pendapatmu?' Ia menjawab, 'Aku berpendapat agar umat bersatu pada satu mushaf, sehingga tidak terjadi lagi perpecahan dan perselisihan.' Kami berkata, 'Pendapatmu sangat baik'."
               Menurut Syaikh Manna' Al-qaththan dalam Mahabits fi 'Ulum Al-qur'an, keterangan ini menunjukkan bahwa apa yang dilakukan Utsman telah disepakati oleh para sahabat. Demikianlah selanjutnya Utsman mengirim utusan kepada Hafsah untuk meminjam mushaf Abu Bakar yang ada padanya. Lalu Utsman memanggil Zaid bin Tsabit Al-Anshari dan tiga orang Quraish, yaitu Abdullah bin Az-Zubair, Said bin Al-Ash dan Abdurrahman bin Al-Harits bin Hisyam. Ia memerintahkan mereka agar menyalin dan memperbanyak mushaf, dan jika ada perbedaan antara Zaid dengan ketiga orang Quraish tersebut, hendaklah ditulis dalam bahasa Quraish karena Al-qur'an turun dalam dialek bahasa mereka. Setelah mengembalikan lembaran-lembaran asli kepada Hafsah, ia mengirimkan tujuh buah mushaf, yaitu ke Mekkah, Syam, Yaman, Bahrain, Bashrah, Kufah, dan sebuah ditahan di Madinah (mushaf al-Imam).
2.3      Penyempurnaan Pemeliharaan Al-qur’an Setelah Masa Khalifah. 
           Sebagian besar manuskrip Al-qur’an dari masa permulaan Islam, baik dalam bentuk lengkap maupun hanya sebagian saja, yang masih dapat ditemukan hingga saat ini tidak ada yang  lebih awal dari masa abad kedua Hijriyah. Naskah yang termuda yang pernah dipamerkan di British Musium selama festifal dunia Islam tahun 1976 berasal dari akhir abad kedua Hijriyah. Namun demikian, masih dapat ditemukan juga naskah-naskah dari abad pertama, yang dituliskan di atas kertaspapyrus. Pada saat ini masih dapat ditemukan di perpustakaan Nasional Mesir, sebuah kopy Al-qur’an yang diperkirakan ditulis tahun 68 Hijriyah (699 M) artinya sekitar 58 tahun setelah wafat Nabi Muhammad SAW (Ahmad Von Denffer, 1988 : 62 dalam Halimatussa’diyah, 2008 : 64).
         Ibnu Batutah (779/1377) mengemukakan bahwa ia pernah melihat copiyan atau lembar yang dibuat Ustman di Granada, Marakesh, Basrah dan kota-kota lainnya. Pendapat lain mengatakan bahwa copiyan tersebut dibawa ke Leningrat dan akhirnya ke Inggris. Setelah itu tidak ada lagi yang tahu tentang hal tersebut.
         Sejak abad keenam belas, ketika mesin cetak mulai dipergunakan pertama kali di Eropa, maka pola penulisan dan pencetakan Al-qur’an semakin dibakukan lagi. Al-qur’an pernah dicetak pada masa sebelumnya, yaitu pada masa bloc print dan juga beberapa bagian pada awal abad sepuluh. Al-qur’an pertama kali dicetak di Hamburg (Jerman) pada tahun 1964 dengan mesin cetak yang dapat dipindah-pindahkan. Naskah ini sepenuhnya dilengkapi dengan tanda baca. Besar kemungkinan naskah Al-qur’an yang dicetak oleh orang Islam pertama kalinya disebut dengan edisiMulay Utsman, yang dicetak pada tahun 1787, diterbitkan di St. Petersburg, Rusia. Kemudian diikuti oleh orang lain, seperti dari Kazan (1828), Persia (1883), dan Istanbul (1877) (Ahmad Von Denffer, 1988 : 68 dalam Halimatussa’diyah, 2008 : 67).
        Naskah Al-qur’an terkini yang banyak dipergunakan di dunia Islam, dan telah berkembang menjadi versi standard yaitu dikenal dengan nama edisi Mesir, atau dikenal juga dengan edisi Raja Fu’ad, karena beliaulah yang memperkenalkannya di Mesir. Edisi ini ditulis berdasarkan cara bacaan Imam Nafas dan pertama kali dicetak di Kairo pada tahun 1925 M/1344 H.
       Al-qur’an juga dicetak secara modern oleh pengikut Said Nursi dari Turki, yang dapat disebut sebagai kombinasi dari keindahan tulisan tangan dengan teknik cetak offset yang canggih. Naskah tersebut ditulis oleh seorang ahli kaligrafi Turki terkemuka, Hamid al-Amidi, dicetak pertama kali di Istambul pada tahun 1947. Sejak tahun 1976, Al-qur’an dicetak dalam berbagai ukuran dan jumlah oleh percetakan yang dioperasikan oleh pengikut Said Nusi Berlin Barat, Jerman (Halimatussa’diyah, 2008 : 68).

Tidak ada komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...